Minggu, 22 April 2012

Sampah Medis Bahayakan Lingkungan, Kesehatan


Sampah Medis Bahayakan Lingkungan, Kesehatan

Di seluruh dunia, sampah medis terus mengancam para petugas kesehatan, pasien, tukang sampah dan semua orang yang terpapar oleh material beracun hasil limbah dari rumah sakit ini.

Calin Georgescu, staff ahli PBB bidang HAM dan limbah beracun, dalam laporannya yang diluncurkan Rabu lalu (14 September) memperingatkan, dunia saat ini kurang memperhatikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sampah-sampah medis.
“Sebanyak 20 hingga 25% dari total sampah yang dihasilkan oleh fasilitas kesehatan, tergolong sampah berbahaya yang akan mengancam kesehatan dan lingkungan jika tidak dikelola dan dibuang dengan aman,” ujarnya.
Limbah medis mencakup berbagai bahan-bahan yang berbahaya yang bersumber dari sampah-sampah yang bisa menimbulkan infeksi di tubuh dan syaraf, produk-produk kimia dan farmasi yang sudah rusak atau melewati masa pakai, bahan-bahan radioaktif serta peralatan medis yang masuk dalam kategori benda tajam yang sudah tak dipakai.

Masalah yang ditimbulkan oleh sampah medis ini terus meningkat dengan cepat terutama di negara-negara berkembang dimana jumlah sampah medis yang dihasilkan juga terus bertambah seiring dengan berkembangnya layanan kesehatan di negara-negara tersebut. Banyak negara berkembang yang tidak memiliki kemampuan teknologi dan finansial untuk mengelola sampah medis ini dengan lebih bertanggung jawab.
“Di berbagai fasilitas kesehatan, sampah-sampah berbahaya seringkali dibakar di tempat terbuka sehingga tidak hancur dengan sempurna. Abu sisa pembakaran sampah medis ini bisa menyebabkan polusi senyawa kimia beracun dioksin, yang jumlahnya bisa mencapai 40.000 kali lipat lebih tinggi dari standar polusi internasional,” ujar Georgescu.
Georgescu mencatat sampah benda tajam seperti suntikan juga harus mendapat perhatian lebih. Suntikan berisiko menyebarkan darah yang sudah tercemar yang bisa menularkan virus berbahaya seperti hepatitis B, hepatitis C bahkan virus HIV (AIDS).
“Semua jenis sampah medis ini bisa membahayakan hak-hak asasi manusia.”
Georgescu juga memberikan rekomendasi untuk mengurangi risiko limbah medis ini, termasuk pembentukan lembaga hukum internasional guna mengelola dan membuang limbah medis dengan metode yang lebih ramah lingkungan.
Redaksi Hijauku.com

Mengantisipasi Kegagalan COP17 di Durban


Mengantisipasi Kegagalan COP17 di Durban

Sembilan hari sebelum Konferensi Perubahan Iklim (COP17) di Durban, Afrika Selatan berakhir, dunia harus bersiap dengan skenario terburuk.

Skenario itu adalah  tidak tercapainya kesepakatan baru yang mengikat guna menekan emisi dan suhu bumi pada 9 Desember 2011.
Tanda-tanda ini sudah terlihat sejak awal dengan keengganan beberapa negara untuk kembali terikat oleh Protokol Kyoto dan bahkan ada negara yang – walaupun telah meratifikasinya – berencana menarik diri dari satu-satunya kesepakatan yang mengikat ini.
Negara seperti Kanada, melalui Menteri Lingkungan Hidup, Peter Kent, Senin (28 November) menyatakan bahwa pihaknya tidak akan membuat komitmen lanjutan atas Protokol Kyoto.
Namun Kent menolak memberikan konfirmasi apakah Kanada akan menarik diri dari kesepakatan pengurangan emisi Protokol Kyoto. Jika hal tersebut terjadi maka Kanada akan menjadi negara pertama yang menarik diri dari Protokol Kyoto setelah meratifikasinya pada tahun 1999.
Kenyataannya, Kanada gagal memenuhi target pengurangan emisi sebesar 6% dari level tahun 1990 sebelum tahun 2012. Alih-alih negara ini bahkan menambah jumlah emisi gas rumah kacanya – dari berbagai sumber jumlah kenaikannya mencapai 30%.
Dengan menarik diri maka Kanada akan terbebas dari kewajiban membayar penalti karena gagal memenuhi target pengurangan emisi.
Negara lain yang menyatakan tidak akan memperpanjang komitmennya atas Protokol Kyoto adalah Jepang dan Russia. Kedua negara adidaya itu tidak memperpanjang komitmen dengan alasan tidak semua negara maju sepakat dengan target pengurangan emisi yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum ini. Sumber masalahnya adalah Amerika Serikat (AS) yang sejak awal tidak bersedia meratifikasi Protokol Kyoto.
AS tidak bersedia meratifikasi Protokol Kyoto karena China dan India tidak turut terikat dalam upaya pengurangan emisi ini. Status China dan India yang masih sebagai negara berkembang, menyebabkan keduanya tidak terikat target pengurangan emisi oleh Protokol Kyoto. Padahal China, AS dan India saat ini menempati peringkat tiga besar negara dengan jumlah polusi terbanyak di dunia.
“Kecemburuan” Jepang dan Rusia terhadap AS seharusnya tidak perlu terjadi karena AS adalah korban dampak mengerikan perubahan iklim.
Menurut laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan ekstrem di wilayah selatan AS, seperti Texas, serta curah hujan dan banjir besar di wilayah utara dan tengah AS, seperti, Ohio dan beberapa provinsi di Kanada seperti Praire dan Quebec. 
AS juga didera topan tornado yang mengerikan di Joplin, Missouri pada Mei yang menelan korban 157 jiwa. Topan ini tercatat sebagai topan tunggal pertama yang paling mematikan sejak tahun 1947.

AS sadar perubahan iklim membawa dampak yang sama mengerikannya dengan perang dan konflik politik yang mereka mulai di berbagai negara. Namun kebijakan luar negeri AS telah tersandera politik, sehingga sulit berharap banyak pada negeri Paman Sam ini.
Apalagi banyak analisis yang menyebutkan, perang yang dijalani AS di Iraq dan Afghanistan – juga upaya untuk mendukung “perubahan politik” di Timur Tengah melalui tangan NATO – tidak lain dilandasi oleh kehausan mereka atas sumber daya yang semakin langka, bahan bakar fossil, yaitu minyak.
AS dan sekutunya hingga kini masih menjalani praktik politik kotor (dirty politics) ini. Dunia tidak perlu terkejut jika AS nantinya menolak mengadopsi kebijakan yang “bersih” yaitu kebijakan pengurangan emisi dan kebijakan untuk menekan suhu bumi.
Faktor lain: perekonomian AS saat ini tengah dilanda krisis. Belum-belum AS sudah menunjukkan keengganannya memenuhi target bantuan perubahan iklim (green climate fund) yang jumlahnya mencapai US$100 miliar per tahun hingga 2020.
Apa yang harus dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia untuk mengantisipasi perkembangan negatif ini?
 Walaupun perundingan belum berakhir, Indonesia harus tetap berfokus pada upaya menjaga sumber daya alam dan aset lingkungan yang berharga seperti hutan dan pertambangan.
Tanpa bantuan negara maju, Indonesia sudah menargetkan pengurangan emisi sebesar 26% pada 2020. Indonesia harus terus mengikuti secara detil setiap perundingan di Durban sehingga setiap kesepakatan yang diambil tidak berefek negatif bagi lingkungan di Tanah Air.
Dengan REDD+, aset kehutanan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam sistem perdagangan karbon. Potensi pelestarian lahan gambut misalnya, nilainya bisa mencapai US$22.000 per hektar per tahun. Potensi pemasukan ini jauh lebih besar dibanding jika lahan gambut ini dibabat untuk perkebunan sawit yang hanya US$7.400 per hektar per tahun.
Indonesia juga harus lebih mengetatkan standar pencemaran lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam sehingga bisa merebut kembali aset-aset berharga yang selama ini telah dieksploitasi secara tidak adil oleh negara lain.
Komitmen untuk menjaga lingkungan dan kembali ke alam juga harus terus digalakkan dalam tataran komunal dan praktis.
Setiap warga negara harus dibangkitkan kesadaran dan nasionalismenya untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam, karena semua aset-aset berharga ini adalah milik mereka sendiri dan milik generasi Indonesia di masa datang. Aset-aset inilah yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan kekuasaan dan politik.
Gaya hidup hijau harus diterapkan dan diperkenalkan sejak dini. Mulai dari anak-anak, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang. Banyak sektor yang harus diperbaiki tata kelolanya menuju sistem ekonomi hijau, sistem ekonomi yang ramah lingkungan. Mulai dari sektor energi, sektor kehutanan, sektor pertanian, sektor transportasi, sektor industri, sektor bangunan hingga sektor pengelolaan limbah.
Banyak PR yang harus diselesaikan oleh Indonesia untuk menuju ekonomi hijau. Namun jika upaya ini berhasil, apapun hasil COP17 nanti, kita akan tetap bisa bangkit sebagai bangsa yang mandiri dan kembali ke bumi.
Redaksi Hijauku.com